Mudik Kampung vs Mudik Hati

Meskipun Pemerintah dengan tegas melarang mudik Lebaran 2021,namun gelombang mudik yang lebih awal tidak bisa dibendung dengan menggunakan sepeda motor, kendaraan pribadi mapun mode transportasi lain. Mereka ingin segera bertemu keluarga untuk melepas rasa rindu karena setahun tidak bertemu. Mereka pulang lebih awal untuk menghindari penyekatan yang akan dilakukan oleh pemerintah mulai tgl 6-17 mei 2021. Larangan ini diberlakukan dalam upaya pengendalaian penyebaran wabah Covid-19. Tradisi mudik menjelang hari raya Idul Fitri oleh para perantau di kota-kota besar Indonesia ke daerah asalnya masing-masing secara bersama-sama dan pada waktu yang juga hampir bersamaan itu disinyalir akan meningkatkan penularan virus sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan lonjakan jumlah penderita Covid-19.

Dipastikan karena penyekatan maka akan terjadi penumpukan kendaraan dan berakibat kemacetan panjang bila tidak diantisipasi dengan baik. Belajar dari pengalaman masa lalu , tepatnya tahun 2016 di pintu keluar tol Brebes, karena arus mudik yang berbarengan maka terjadilah penumpukan kendaraan sampai 11 jam sehingga memakan korban 12 nyawa karena kelelahan, kekurangan cairan hingga keracunan CO2. Arus mudik yang berasal dari ibukota dan kota besar lainnya semakin tahun semakin bertambah dan selalu diikuti arus balik yang lebih besar karena membawa keluarga lain yang ingin mengadu nasib di daerah tujuan. Daya tarik kekotaan di satu pihak dan masa pandemic yang mematikan ekonomi masyarakat, mendorong mereka untuk mencari pekerjaan di kota lain yang lebih menjanjikan, itulah isi teori mobilitas dari Lee atau Everet S Lee yang menjelaskan perilaku mobilitas penduduk itu terkait dengan empat faktor  yaitu factor yang terdapat di daerah asal, factor yang terdapat di daerah tujuan, factor penghalang dan factor individu.

Kenyataan menunjukkan sebelum 6 mei 2021, mereka mudik lebih awal, di stasiun  pengirim mudik dipadati orang termasuk di tempat perbelanjaan, pasar tanah abang misalnya. Tempat perbelanjaan banyak diserbu orang dan sebaliknya shaf jamaah masjid semakin jarang karena berpindah tempat. Sehingga mudik diperkirakan berlanjut kerumunan tetap semarak termasuk pelanggaran prokes meskipun Presiden sudah wanti wanti  : seluruh pihak tidak boleh sepelekkan covid-19 meskipun grafik telah mulai landau tapi berkaca dari Negara India,Singapura dll, kita harus tetap waspada. Indonesia belum aman, itulah maknanya.

Menjelang H-4 pusat perbelanjaan di daerah mulai diserbu pembeli dan kerumunan tidak bisa dihindarkan. Taka ada petugas di lokasi itu dan dianggap sebagai hal yang wajar menjelang lebaran maka para pengusaha yang banyak mengeruk untung karena dagangannya diserbu pembeli, bahkan pembeli ada yang menggunakan sepur mini ketika menuju tempat perbelanjaan. Inilah budaya mudik dan belanja jelang lebaran. Lebaran tiba, baju harus baru, celana juga baru, perangkat sholat pun demikian, tiada hari tanpa pakaian baru, jika perlu mobilpun juga baru.

Sebenarnya ummat Islam tidak perlu khawatir jika belum bisa mudik tahun ini mengingat pandemi masih mengancam keselamatan manusia dan dalam pandangan islam hal ini masih diperbolehkan dengan alasan yang mendasar.  Kita  justru khawatirkan adalah jika kita belum mempersiapkan diri untuk mudik ke hati. Pesan QS Al Baqarah 183 , dengan berpuasa diharapkan kita meningkat derajadnya dari level orang yang beriman menjadi orang yang bertaqwa. Karena dengan takwa ini menjadi bekal yang terbaik menghadap Allah swt.  Kita berasal dari suatu tempat dan hendak kembali menuju tempat itu. Kita berasal dari Allah, dan akan kembali kepada-Nya. Inna lillahi wainna ilaihi ro ji’un. Ingat firman Allah : “Manusia diciptakan sebagai machluk yang bentuknya sebaik baiknya tetapi dikembalikan ke tempat yang serendah rendahnya” (QS 95:4-5), itulah mudik yang sebenarnya,

Tidak heran jika para ulama sufi membagi mudik ke dalam dua jenis yaitu mudik jasmani dan mudik ruhani. Mudik jasmani merupakan perjalan pulang-pergi seseorang secara fisik ke kampung halamannya dan setelah itu dapat pergi lagi dari kampung halamannya kembali lagi ke aktivitas kesehariannya. Dalam terminologi geografi disebut mobilitas penduduk horizontal karena gerakan manusia dari daerah asal menuju daerah tujuan. Ada juga mobilitas vertical atau perubahan status social dalam masyarakat. Sedangkan mudik yang sebenarnya adalah perjalanan ‘pulang’ ruh seseorang untuk pulang ke rahmatullah dan tidak akan kembali lagi ke kehidupan duni

Ramadhan merupakan bulan penuh berkah dan ampunan dari Allah SWT. Maka bulan ini merupakan salah satu momentum terbaik kita untuk mengumpulkan bekal terbaik dalam perjalanan mudik ruhani. Namun dalam hitungan hari ke depan kita akan segera berpisah dengan bulan Ramadhan, dan akan bertemu kembali dengan bulan Ramadan tahun depan jika Allah SWT belum menghendaki kita untuk ‘mudik’ (kembali) ke hadiratNya.

Namun, fenomena yang lazim terjadi di penghujung Ramadhan dan menjelang hari raya Idul Fitri justru adalah ramainya pasar dan pusat-pusat perbelanjaan. Ummat Islam justru sibuk berburu baju baru dan makanan lebaran. Euforia lebaran tidak seharusnya membuat kita lalai hakikat mudik yang sesungguhnya. Maka mari di penghujug Ramadhan ini kita fokus beribadah , masjid kita makmurkan untuk kegiatan sholat tarweh, mengaji, zikir, berdiam diri di masjid dan kegiatan ibadah nlainnya, dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah, untuk mempersiapkan diri mengumpulkan bekal ‘mudik ruhani’ yang pasti akan kita alami bukan sebaliknya mengunjungi tempat perbelanjaan untuk lebih banyak memenuhi kepentingan jasmani. Dunia sudah terbalik? (*)

 

Penulis:

  1. Drs. H. Priyono, M.Si. (Ta’mir Masjid Al-Ikhlas Sumberejo, Klaten Selatan; Wakil Dekan I Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
  2. Sri Rejeki Nugraheni, M.Pd (Guru Geografi SMAN 71 Jakarta)