Oleh: Drs. H. Priyono, M.Si. (Ketua Ta’mir Masjid Al-Ikhlas Sumberejo, Klaten Selatan dan Wakil Dekan I Fakultas Geografi UMS)
Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya….” (Qs. An Nuur: 31).
Apa yang Anda pikirkan ketika melihat seorang muslimah bercadar? Mungkin Anda berpikir bahwa muslimah tersebut adalah orang sangat mendalam pemahaman islamnya. Atau malah mungkin justru sebaliknya, Anda berpendapat bahwa mereka terlalu berlebihan dalam beragama. Atau justru mungkin timbul kecurigaan dalam pikiran Anda bahwa muslimah bercadar tersebut adalah pengikut kelompok islam radikal. Memang reaksi orang bisa berbeda-beda dalam memaknai suatu fenomena/peristiwa di hadapannya, tergantung dengan pengetahuannya dan “kepentingan”nya masing-masing. Perbedaan pandangan tentang bercadar ini tampak pada kasus yang belakangan ramai dibicarakan. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogkyakarta melarang mahasiswinya memakai cadar. meskipun beberapa hari kemudian larangan tersebut dicabut. Sementara Rektor UMS tidak melarang dan juga tidak mengharuskan mahasiswinya bercadar.
Sebelum lebih jauh kita bahas, dalam konteks bercadar ini, sebenarnya bercadar itu hukumnya Wajib, Sunah, atau Mubah? Jika hukumnya wajib, berarti bagi yang bercadar akan memperoleh pahala sedangkan bagi yang tidak bercadar akan berdosa, jika hukumnya sunah berarti yang bercadar akan mendapatkan pahala sedangkan yang tidak bercadar akan rugi karena tidak mendapat pahala dari bercadar, jika hukumnya mubah berarti boleh bercadar tapi tidak bercadar juga boleh.
Jika kita baca memang terdapat perbedaan pandangan di kalangan ahli fikih tentang cadar. Perbedaan pandangan para ahli fiqih tersebut terkait tafsir surat an-Nur ayat 31 yang artinya, “…janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya….”
Ayat di atas dengan jelas melarang wanita muslimah menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah yang biasa tampak dari wanita? Jawaban dari pertanyaan inilah yang kemudian menimbulkan berbagai pendapat di klalangan para ahli fikih.
Mayoritas ahli fikih berpandangan bahwa yang biasa tampak dari wanita yang dimaksud dalam ayat di atas adalah wajah dan telapak tangan. Jadi seluruh tubuh wanita adalah aurat, wajib ditutup kecuali wajah dan telapak tangan.
Namun, ada juga pendapat-pendapat lainnya yang memiliki penafsiran yang berbeda terhadap ayat di atas. Seperti para ahli fikih bermazhab Syafi’i yang menganggap aurat wanita adalah seluruh tubuhnya. Mazhab ini memerintahkan muslimah untuk menutupi wajahnya dengan cadar. Misalnya Muhammad bin Qaasim al-Ghazzi dalam kitabnya Fathul Qaarib berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan, termasuk wajah dan telapak tangan.
Sementara ahli fikih bermazhab Hanbali tidak mewajibkan, namun menganjurkan muslimah untuk mengenakan cadar dengan tujuan agar aman dari fitnah dan gangguan. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan lelaki. Sedangkan ahli fikih bermazhab Maliki seperti Imam al-Qurthubi berpendapat jika seorang wanita memiliki rupa yang cantik dan khawatir wajah dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, dianjurkan menutup wajahnya. Namun, bagi wanita yang sudah tua boleh memperlihatkan wajahnya.
Dari sini tampak bahwa para ahli fikih berbeda pendapat tentang hukum bercadar. Dan yang perlu dicatat bahwa tak ada satu pun ahli fikih yang secara tegas mewajibkan untuk bercadar, ada yang setengah mewajibkan (mewajibkan dalam kondisi tertentu) dan ada pula yang sebatas menyarankan.
Mayoritas pendapat ahli fikih tentang bercadar tampaknya lebih mengedepankan kondisi dan situasi dalam menetapkan hukumnya bagi muslimah. Kalau kondisinya cenderung akan menimbulkan fitnah dan membuat mata lelaki jelalatan memandang wajahnya, disarankan untuk memakai cadar. Kalau berada dalam lingkungan yang “aman”, tentu memakai cadar tidak lagi dibutuhkan.
Oleh karena itu, kembali kepada pertanyaan di awal, apa yang Anda pikirkan ketika melihat seorang muslimah bercadar? Kagum dan simpati atau curiga dan siniskah Anda? Tentu jawabannya bisa berbeda-beda, seperti para ahli fikih yang juga bersilang pendapat tentang hukum bercadar ini. Maka untuk menempatkan pandangan yang pas terhadap muslimah bercadar ini, yang diperlukan adalah kearifan Anda dalam melihat perbedaan pandangan tentang cadar. Agar kita dapat bersikap arif bijaksana, mari membiasakan diri untuk mempelajari dan merenungi terlebih dahulu sebelum mengambil sikap.
Sumber: Jawa Pos Radar Solo, 6 April 2018