Tiada ranting yang rimbun
Daunpun berguguran
Mata air pun kering
Tiada titik embun turun
Saat itu kemarau yang panjang
Hati gersang dan berdebu
Curah hujan tiada turun
Membasahi jiwa ini
Tiada pohon yang rindang
Tempat berteduh dari cahaya mentari terasa panas
Air mata pun kering
Suara hati pun membisu
Saat itu kemarau yang datang
Cita hati terasa sendu
Cahaya mentari terasa panas
Meyinari jiwa ini………
Demikian gambaran suasana kemarau yang diwujudkan dalam potongan lirik lagu Kemarau Panjang yang dilantunkan oleh Prambors pada era 80 an. Prambors melukiskan kondisi kemarau dalam untaian syair dengan memadukan unsur geografi dan seni. Lagu ini diciptakan pada tahun 1986 dan hits pada saatnya. Secara lengkap lagu ini merupakan kegundahan Prambors menghadapi kemarau panjang tapi ada secerah harapan di bait akhir lagu ini dengan harapan mendung segera mengusir kemarau dan kata sabar untuk menunggu hujan datang terpai ucap pada bait bait terakhir.
Kondisi kemarau panjang yang digambarkan dalam untaian kata kata bait demi bait oleh Prambors sungguh dirasakan oleh saudara kita yang tinggal didaerah pegunungan yang sulit keberadaan air tanahnya terutama pegunungan gamping atau yang dikenal dengan topografi karst yang luasnya cukup memukau mencapai 154.000 km persegi atau 15,4 juta ha yang tersebar merata di seluruh Indonesia. Karst adalah bagiandari ekosistem yang harus dilestarikan keberadaannya karena didalamnya menyimpan sumberdaya alam yang kaya, tempat bermukim folra dan fauna berbagai spesies, sebagai tangki raksasa penyimpan air bawah tanah dn menjadi wilayah kunci untuk mengetahui system hidrologi kawasan. Wilayah karst terlihat kering di atas tapi basah dibawah karena timbunan air akibat proses pelarutan.
Pada musim kemarau, sudah terbiasa bagi mereka yang tinggal di daerah karst khususnya yang membentang di pegunungan Jawa bagian selatan akan mengalami kekeringan . Karena sudah menjadi kebiasaan tahunan, maka bukan dianggap sebagai masalah tapi sudah jadi rutinitas yang dijalani dengan tanpa keluhan. Saat puncak kekeringan adalah masa yang paling kritis karena dengan kondisi ekonomi serba pas pasan , mereka masih dibebani harus membeli air untuk menghidupi keluarganya termasuk menghidupi hewan ternak piaraannya yang menjadi investasi mereka. Dengan penghasilan keluarga per bulan rata rata rp 1.000.000 dan membeli air sekitar rp 250.000 per tangki setiap bulannya , akan menjadikan mereka kesulitan dalam mempertahankan kehidupan. Itulah kira kira gambaran keluarga yang hidup di daerah Gunung Sewu ( pegunungan seribu ) sepuluh tahun yang lalu.
Hidup di wilayah gersang, fisiografi yang bergelombang pada ketinggian sekitar 600 m di atas permukaan air laut di daerah batu gamping yang kering di atas tapi basah di bawah. Keberadaan air tanah yang begitu dalam yang sulit dijangkau meskipun di beberapa lokasi kita dapatkan mata air dan sumur serta sungai bawaha tanah, yang distribusi tidak merata maka sangat diperlukan penerapan teknologi tepat guna untuk bisa mengangkat air sungai nbawah tanah dengan teknologi tepat guna dengan memperhatikan beda tinggi. . Nama desa yang mengalami kekeringan sepanjang tahun di musim kemarau adalah desa Pucung, Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri. Desa yang berjarak 13 km dari pusat kecamatan Eromoko dan 37 km dari kota kabupaten Wonogiri ke arah barat daya. Secara geografis ,Desa ini berbatasan dengan desa Pasekan, sebelah timur dengan desa Sindukarto, Desa Puloharjo dan desa Eromoko, sebelah selatan dengan kecamatan Pracimantoro dan sebelah barat dengan desa Basuhan dan Propinsi DIY. Desa yang cukup bersejarah karena pernah disinggahi Jenderal Sudirman waktu bergerilya dan ada makam Dhamarwulan , yang menjadi tempat ziarah. Desa ini dulunya pernah jadi tempat bersejarah akan tetapi karena persoalan sulitnya air kemudian mulai surut peradapan.
Melihat persoalan yang mendasar yang terkait dengan kebutuhan air di daerah karst tersebut , munculah gagasan cerdas dari pecinta alam Giri Bahama Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta(UMS) yang mendapat bimbingan intensif dari dosennya berkolaborasi dengan dengan Pemda Wonogiri, pemdesa Pucung dan Dewan dakwah Jateng berupaya untuk menelusuri sumber air di bawah tanah untuk memecahkan masalah kekeringan yang diderita oleh saudara kita yang tinggal di topografi karst batu gamping. Sinergi bidang pendidikan dengan bidang penelitian serta pengabdian pada masyarakat menjadi dasar kegiatan ini, lebih lebih ditopang denga stake holder yang lain yang memiliki visi yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah pegunungan. Seperti juga di goa Bribin Gunung kidul. Masalah air dan kekeringan bisa diselesaikan. Hanya bedanya, jika di Bribin dengan skala besar dan bantuan teknologi canggih dari Jerman. Dibuat bendungan besar dan merupakan satu satunya bendungan sungai bawah tanah yang pertama di dunia. Di sungai bawah tanah di Goa Suruh desa Pucung kecamatan Eromoko , juga sedikit banyak terinspirasi ide besar sungai bawah tanah Bribin di Gunung Kidul.
Kolaborasi keempat lembaga tersebut memiliki peran yang berbeda . Civitas Academica Fakultas Geografi UMS dengan menggunakan pendekatan speleology berbasis managemen bencana melakukan berbagai aksi meliputi penelusuran gua , pemetaan gua sampai pada analisis ketersediaan dan kebutuhan air sebagai bagian dari aksi besar melakukan mitigasi bencana kekeringan. Berbagai penelitian gua di Pucung dengan bantuan foto udara infra merah dan intertpretasi foto serta caving yang dilengkapi dengan alat pecinta alam berbasis geografi. Produk dari kerja lapang ini adalah membuat peta distribusi goa dan posisi serta karakteristiknya dan menemukan sungai bawah tanah di goa suruh yang monumental karena berjuta tahun, sungai ini tidak pernah ada yang menjamah. Begitu datang anak pecinta alam Fakultas Geografi UMS menjadi barokah bagi masyarakat pucung.
Penemuan goa suruh yang dibawahnya ada sungai bawah tanah pada kedalaman 44 m di bawah tanah jadi menggemparkan warga saat itu sekitar tahun 2000 an . Aktivitas berikutnya adalah mensurvai beda tinggi agar air sungai bawah tanah bisa diangkat dan didistribusikan ke seluruh warga. Alhamdulilah, ini usia yang 8 tahun masyarakat pucung sudah tidak lagi mengalami kekeringan dan sudah waktunya mengganti pompa di dalam goa sampai dua kali karena keausan alat dan korosi dengan bantuan mahasiswa pecinta alam Fakultas Geografi UMS. Pemda Wonogiri, Dewan Dakwah Jateng dan pemdes Pucung berkontribusi dalam pendanaan dan penyediaan fasilitas listrik serta sarpras lain seperti infrastruktur jalan, kabel, pipa, sehingga terjalinlah sinergi perguruan tinggi dengan pemerintah serta lembaga keagamaan.
Kini masyarakat Pucung telah terbebas dari kekeringan karena debit sungai bawah tanah pada puncak musim kemarau sebesar 2 liter per detik, angka yang fantastis dan berdasarkan survai konsumen air yang dilakukan oleh mahasiswa pecinta alam baik dari segi kuantitas maupun kualitas air sungai bawah tanah, lebih dari cukup( baru terpakai 50-60 persen ) dan layak untuk dikonsumsi dengan catatan harus dimasak dan diendapkan bila untuk memasak. Sudah tidak lagi terlihat truk tangki pembawa air dijual pada masyarakat karena sungai bawah tanah karunia ilahi telah mencukupinya. Bahkan sebagian masyarakat telah memasang meteran di rumah, sehingga bagi mereka yang mampu, tak perlu lagi mengantri di bak penampungan air.
Disamping itu, kini masyarakat bisa memanfaatkan air sungai bawah tanah tidak saja untuk kebutuhan domestic seperti mandi, cuci dan memasak tetapi sudah dikembangkan untuk kegiatan produktif lainnya seperti beternak lele, sayuran dan beternak hewan lainnya. Fakultas Geografi tentu tidak akan selamanya mendampingi, maka sudah dibentuk managemen air sungai goa suruh untuk melestarikan pengelolaan iar anugerah ilahi agar sampai anak cucu mereka. Bapak Suyadi sebagai ketuanya, yang kebetulan seorang pendidik, kepala sekolah SD dan puteranya kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta dan sudah jadi guru SD di sana.
Beliau juga aktivis Muhammadiyah yang mendharmabaktikan tenaga serta pikirannya untuk masyarakat. Dalam perspektif islam, mereka yang menyediakan air untuk masyarakat banyak akan menjadi shadaqah jariyah. Ada banyak sekali jenis shadakah jariyah yang pahalanya terus mengalir meskipun orang yang memberinya telah meninggal yaitu mengajarkan ilmu(HR Muslim), membangun masjid (Sabda Rasul terdapat dalam Ash-Shahihain), menulis buku/menyebar ilmu( Sabda Rasul), menggali sumur( Sabda Rasul) dan sedekah harta(QS Al Baqarah ayat 261). Semoga kolaborasi ini bisa dicloning di daerah karst yang lain di Indonesia sehingga perguruan tinggi menjadi menara air bagi masyarakat karena fenomena yang sama akan dialami oleh masyarakat yang tinggal di daerah angat karst. Betapa sulit kehidupan di daerah pegunungan karst dengan keterbatasan sumberdaya alam ,akan tetapi kondisi haus tanah akhirnya merambah ke loakasi yang sangat sulit untuk dijangkau. Semoga kemarau panjang cepat berlalu seperti yang diharapkan sang pencipta lagu sehingga hati yang sendupun akan mengikutinya untuk berlalu. (*)
(*) Artikel ini juga telah diunggah pada Pasundan Ekspress dengan link: https://www.pasundanekspres.co/opini/kemarau-kekeringan-di-topografi-karst-dan-kemunculan-sungai-bawah-tanah-yang-menggemparkan/