Pandemi covid-19 memberikan dampak yang luar biasa. Sendi-sendi kehidupan yang dianggap normal sebelumnya diporakporandakan oleh covid-19, yang sudah mapan diputarbalikkan bahkan aturan religipun dikalahkan demi mencegah penyebaran covid-19 sehingga manusia harus menyesuaikan dengan kondisi pandemi.
Kita dapat melihat sebelum ini, undangan acara hajatan sebelum pandemi sangat vital untuk menjaga hubungan saudara, teman atau kolega. Bila undangan hajatan ini tidak sampai, maka saudara, teman atau kolega dapat tersinggung dan terjadi disharmonisasi. Apa yang terjadi setelah ada pandemic ? seseorang tidak diundang diacara hajatan malah berucap “alhamdulillah”. Mereka bersyukur karena takut terpapar covid-19, atau memang ada alasan keuangan yang lain.
Penyesuaian atau adaptasi ini tidak terlepas dari beberapa pandangan pakar Kesehatan dunia, bahwa virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 akan selamanya ada di dunia seperti virus-virus lain yang belum ditemukan vaksinnya.
Sehingga negara menyerukan untuk malakukan “normal baru”. Masyarakat harus bersikap realistis dan hidup dalam adaptasi baru, dalam tatanan baru yang menyesuaikan dengan kondisi dan kesadaran bahwa kehidupan harus terus berjalan tetapi tetap aman dari covid-19.
Kondisi normal baru ini saat ini sedang diuji dengan semakin naiknya jumlah orang terpapar covid-19. Sejak tanggal 19 September 2020.
Data www.worldometers.info/coronavirus menunjukkan negara kita tercinta mengalami peningkatan jumlah paparan harian pada angka 4000-an. Saya tidak akan membahas kenapa angka ini bisa meningkat, tetapi saya melihat saat ini dan dalam waktu dekat ini kita juga menghadapi pergantian musim , dari kemarau musim hujan, yang secara geografi akan mempengarudi dinamikan kehidupan di bumi dan juga musim pilkada,yang mengharuskan orang berkumpul di satu titik yang menyebabkan rawan penyebaran covid, semua jadi tantangan berat, sudah siapkah dengan kondisi yang serba membahayakan ?
Fenomena geografi, fenomena covid-19 dan fenomena pemelihan pemimpin berbaur jadi satu, satu pilihan yang sangat menyulitkan.
Saat ini kita mengalami awal musim hujan yang secara musiman terlihat normal, tetapi BMKG sudah mengingatkan bahwa La Nina sudah teraktivasi di pasifik timur (siaran pers BNPB, Kamis 1/10/2020). Lebih lanjut dijelaskan bahwa “Kondisi ini dapat memicu frekuensi dan curah hujan wilayah Indonesia pada bulan-bulan ke depan, bahkan hingga April tahun depan jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Sehingga potensi banjir, banjir bandang dan tanah longsor ke depan perlu diwaspadai oleh masyarakat”. Kondisi ini artinya ancaman bencana hidometeorologi sedang mengintai. Bagaimana masyarakat bersikap, tetapi masih produktif?
Diperlukan persiapan masyarakat dalam hal kesiapsiagaan yang dibagi menjadi dua, yaitu kesiapsiagaan di lingkungan tempat tinggal dan dalam beraktifitas di luar rumah. Kesiapsiagaan di lingkungan kita adalah mempersiapkan segala kemungkinan bila terjadi bencana seperti banjir, longsor, badai dan bencana sejenisnya. Mengamankan dokumen-dokumen penting dan sebagian bahan makanan serta obat-obatan cadangan pada tempat yang kedap dan aman. Menggali informasi terdahulu tentang sejarah bencana dan meneruskan pada perkuatan komunitas (RT atau RW) juga menjadi hal penting. Apabila potensi bencana pernah ada, maka menentukan titik aman dan jalur evakuasi menjadi keharusan. Selanjutnya seandainya ada pengungsian massal, bagaimana dengan kondisi saat pandemi ini, protokol kesehatan juga protokol VDJ (ventilasi-durasi-jarak) pasti sulit dilakukan? Jawabannya akan mendekati “ya”. Terus bagaimana bersikap?
Petugas Kesehatan dan aparat pemerintahan semestinya dapat mengontrol dan melokalisasi pengungsian. Persiapan logistik dan sanitasi serta sarana protokol kesehatan menjadi keharusan. Dukungan masyarakat yang tidak terdampak bencana semestinya ada dan beradaptasi dengan kondisi pandemi.
Sebelumnya bila ada bencana kita selalu menyaksikan “wisata bencana”, kondisi ini saat ini mestinya dapat dihilangkan untuk menghindari kerumunan massa non terdampak bencana, uluran bantuan dan sumbangan yang semestinya diberikan.
Aktifitas di luar rumah semestinya tetap mengikuti protokol kesehatan juga protokol VDJ, tetap jaga jarak, membawa dan menggunakan hand sanitizer seperlunya serta pakai masker dalam berteduh atau berlindung pada kondisi hujan. Membawa minyak kayuputih untuk menghangatkan badan serta membawa bekal minimal air putih dalam setiap perjalanan patut juga dipertimbangkan. Selanjutnya, usahakan selalu untuk mencari informasi kondisi cuaca daerah sekitar, yang menjadi tujuan atau yang dilalui. Hal ini sebagai tindakan preventif keselamatan diri. Informasi kondisi cuaca ini, dapat menjadi peringatan dini ancaman bencana yang akan terjadi.
Lalu bagaimana dengan musim pilkada? Semestinya protokol kesehatan dan VDJ tetap menjadi acuan, kerumunan massa semestinya dihindari. Terus, apakah kita golput dan tidak datang ke TPS? Idealnya memang e-voting atau yang sedang keren-kerennya saat ini, daring, ya pemilihan lewat media daring. tetapi kondisi saat ini sepertinya KPU belum bisa mengakomodir.
Sebagai wujud pelaksanaan demokrasi dan hak setiap warga negara, masyarakat pemilih tetap bisa datang ke TPS dengan penjadwalan waktu, seperti pengambilan “Bantuan Sosial” serta tetap melaksanakannya seperti pada aktifitas di luar rumah yang telah diuraikan sebelumnya.
Semua yang telah disebutkan sebelumnya hanyalah “tata cara” dan itu belum cukup.
Kunci keberhasilan adalah pada kewaspadaan, rasional dan kedisiplinan yang menjadi kesadaran kritis kita untuk dapat mengontrol semua tindakan demi keselamatan diri, keluarga, komunitas dan bangsa. Landasan berpijak semua tindakan adalah kemanusian yang akan tetap menjadikan kita sebagai masyarakat beradab dan berkeadilan. Mari beraktifitas dan tetap produktif, tetapi aman dari covid-19.
(*) Artikel ini juga dipublikasikan pada Pasundan Ekspress dengan link: https://pasundan.jabarekspres.com/2020/10/02/berpadunya-fenomena-geografipilkada-dan-covid-19-sudah-siapkah-menghadapinya/