Dalam khasanah metodologi penelitian, hampir dapat dipastikan banyak penelitian yang dilakukan di dunia ini diterapkan tidak untuk semua populasi atau sampel. Sampel adalah reperesentasi dari populasi, jadi tidak bisa dikatakan sampel jika hasilnya tidak menyerupai populasi. Hal yang demikian disebut bagian dari populasi saja dan tidak layak dinamakan sampel. Dalam kontek kekinian, pertanyaan yang diajukan adalah DPR RI yang telah mengesahkan UU Omnibus Law itu mewakili rakyat yang mana? Jika banyak rakyat yang berdemo menyuarakan menolak UU yang disahkan tengah malam, apakah itu menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakili, itulah pertanyaan mendasar.
Demonstrasi besar besaran terjadi di beberapa daerah di Indonesia, ribuan mahasiswa dan buruh tumpah tuah turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasinya sebagai bentuk penolakan atas disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja. Aksi unjuk rasa tersebut berlangsung selama beberapa hari, dan puncaknya terjadi pada tanggal 8 Oktober 2020. RUU Cipta Kerja di sahkan oleh DPR melalui Rapat Paripurna yang digelar di gedung DPR, Senayan, Jakarta pada Senin, 5 Oktober 2020 lalu serta disiarkan secara live melalui salah satu stasiun televisi swasta.
Rapat Paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja diwarnai kejadian walkout dari fraksi Partai Demokrat. Hal tersebut bermula ketika pimpinan DPR dapat meminta persetujuan tingkat II agar RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU. Namun, salah satu fraksi dari Partai Demokrat melakukan interupsi dan mendapat penolakan dari Aziz Syamsuddin wakil ketua DPR. Bahkan hanya dua dari sembilan fraksi yang tetap menolak atau ingin menunda pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja. Dengan demikian, RUU Cipta Kerja tetap disahkan menjadi UU sebab sebagian besar fraksi di DPR dan pemerintah satu suara yaitu menyepakati RUU tersebut.
Sebenarnya mengapa Omnibus Law UU Cipta Kerja ini banyak mengalami penolakan, bahkan hampir di setiap daerah? Hal tersebut karena ada beberapa pasal kontroversial yang dirasa merugikan kaum buruh dan tidak pro rakyat serta hanya menguntungkan investor saja. Katanya negara ini negara demokrasi yang kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Namun, sampai bergaungnya istilah “vox popui vox dei” yang berarti suara rakyat adalah suara tuhan, masyarakat masih belum merasakan aspirasinya di dengar oleh wakil rakyat.
Keesokan harinya banyak masyarakat yang mulai menyuarakan aksi penolakan di media sosial, ramai tagar #BatalkanOmnibusLaw menduduki trending satu di twitter. Aksi penolakan masyarakat tidak hanya berhenti sampai di situ saja, besoknya ribuan mahasiswa dan buruh mulai melakukan aksi unjuk rasa di beberapa pabrik dan kantor DPRD setempat.
Demo berlangsung seperti biasanya, demonstran berorasi menyampaikan aspirasinya. Namun, lambat laun suasana memanas karena tuntutan mahasiswa tidak tercapai. Ribuan aparat gabungan pun dikerahkan guna mengamankan aksi unjuk rasa yang sedang berlangsung. Meskipun aspirasi yang di utarakan belum mendapatkan tanggapan dari DPRD terkait demonstran tak gentar dan tetap melaksanakan aksinya bahkan berlangsung selam beberapa hari. Kerumunan masa yang banyak berpotensi menyulut emosi dan berperilaku tidak normal dan persepsi demontrasi mesti rusuh menjadi penyulutnya, akhirnya kontrolpun menjadi kendor.
Hampir seluruh daerah melaksanakan aksi penolakan tak terkecuali di Kota Solo. Berbeda dengan tahun sebelumnya masa melakukan demo di depan Gedung DPRD Surakarta. Namun, kali ini mahasiswa dan masyarakat yang berada di Solo Raya berkumpul di Tugu Kartasura alasannya masih sama yaitu penolakan terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Sore itu Kamis, 08 Oktober 2020 Tugu Kartasura yang biasanya ramai kan lalu lintas kendaraan bermotor berubah menjadi lautan manusia. Mulanya aksi berjalan kondusif dan tidak ada kendala. Hanya sedikit rintik hujan yang menemani demonstran. Setidaknya mendinginkan pikiran yang panas selama menjalankan aksi.
Sesaat setelahnya nampak salah satu peserta aksi naik ke atas baliho yang ada di pinggir jalan, ia membawa banner yang bertuliskan “Legislator Berkepala Babi” nampaknya ia akan memasangkan banner tersebut ke baliho yang di depannya. Tiba-tiba ada salah satu anggota kepolisian yang melarang dan menarik banner tersebut, benar saja kericuhan tak dapat terbendung hingga polisi menembakkan gas air mata. Untungnya tidak ada korban jiwa saat terjadi kerusuhan, sesaat setelahnya polisi membubarkan aksi dan masa kembali ke kediaman masing-masing.
Lain tempat lain cerita, ramai beredar di media sosial bahwa aksi yang terjadi sampai menimbulkan kerusuhan dan baku hantam dengan aparat kepolisian. Nampaknya memang ada provokator yang berada di tengah-tengah mahasiswa. Memang ada orang yang membuat kerusuhan di barisan mahasiswa, akan tetapi dia bukan mahasiswa. Bahkan beberapa penyusup juga menyamar dengan memakai almamater identitas universitas.
Sangat disayangkan aksi mahasiswa yang berjuang menyuarakan aspirasi masyarakat harus dinodai dengan adanya penyusup yang membuat keadaan semakin buruk. selain itu, merek juga merusak bahkan membakar beberapa fasilitas umum yang ada. Aparat pun turun tangan dengan menembakkan gas air mata serta menyemprotkan water cannon sebagai upaya menghalau demonstran agar tidak semakin rusuh. Lebih dari itu kejadian mencekam berlangsung ketika aparat kepolisian sudah mulai menciduk pendemo yang dirasa sebagai provokator, mereka juga menembakkan peluru karet.
Memang aksi unjuk rasa terlebih menyangkut persoalan yang sangat sensitif seperti ini sangat riskan dan berujung pada aksi kerusuhan. Sejatinya mahasiswa, buruh, dan seluruh elemen masyarakat yang melakukan aksi merek hanya ingin suaranya didengar dan mendapat tanggapan dari wakil rakyat. Namun yang didapatkan justru benteng manusia berbadan begap berbaju coklat. Banyaknya penyusup juga menodai aksi penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Melihat kenyataan di lapangan maka demontrasi perlu didesign ulang agar aspirasi bisa disampaikan dengan baik dan bermartabat serta tidak terjadi anarkhi baik secara fisik maupun pernyataan dan aparat keamanan didesign bisa mengamankan kegiatan unjuk rasa yang memperjuangkan kepentingan rakyat sehingga terjadi harmoni antara pengunjuk rasa dengan aparat keamanan. Tindakan aparat keamanan harus mengedepankan saling asah,asuh serta asih , bukankah mereka dibentuk dari rakyat dan untuk rakyat, bukan sebaliknya. Dan mestinya DPR segera merespon cepat aspirasi tersebut, minimal bisa berdialog dengan rakyat yang diwakili. Sepanjang design demontrasi masih seperti ini , maka pelanggaran masih terus terjadi dan aktivitas fisik lebih mendominasi , yang akhirnya misi suci menyampaikan aspirasi tidak bisa terealisasi maksimal. Dan Dewanpun harus kembali pada esensi perannya sebagai wakil rakyat. (*)
(*) Artikel ini juga telah diunggah pada Pasundan Ekspress dengan link berita: https://www.pasundanekspres.co/opini/mengapa-aksi-unjuk-rasa-tolak-omnibus-law-harus-berakhir-rusuh/