1.000 Peta Desa adalah sebuah program yang berasal dari gagasan pribadi (penulis) yang akhirnya didaulat oleh Fakultas Geografi UMS menjadi salah satu program unggulan dalam rangka menunjang kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi terutama bidang pengabdian kepada masyarakat. Tahun ini adalah tahun ke-5 program berjalan. Alhamdulillah walaupun pelan namun program berjalan berkelanjutan, sejak diluncurkan hingga kini belum pernah stagnan. Hingga tahun ke-5 tercatat ada sekitar 79 desa di wilayah Jateng dan sebagian Jatim yang sudah mendapat hibah peta desa dari program ini, dengan total biaya sekitar 79 x Rp2.500.000 = Rp 197.500.000. Semua dibiayai murni dari mahasiswa.
Mencermati apresiasi dan keterterimaan pihak desa atas hibah peta dalam program ini, maka diharapkan program ini menjadi program berkelanjutan hingga makin banyak desa terbantu memiliki dokumen penting desa dalam bentuk peta citra desa yang menggambaran gambaran riil wajah desa dari atas (rekaman citra satelit dan pemotretan drone). 1000 desa tentu 1000 pula cerita. Rasanya tak akan habis bercerita mengenai cerita-cerita mereka para perangkat dan para kepala desa menanggapi dan menerima hibah peta citra desa yang sudah lama mereka damba tanpa harus mengeluarkan dana serupiah pun juga. Tulisan ini mencoba untuk mengungkap kembali bagaimana rasa suka dan bahagia serta terimakasih itu mereka apresiasikan. Oleh karena terbatasnya ruang maka tidak semua cerita para kepala desa penerima hibah peta ini dikisahkan.
Desa Ngunut. Tersebutlah sebuah desa di wilayah Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar. Sebuah desa yang berada di lereng bawah kaki vulkan Lawu dengan relief agak kasar dengan topografi berombak ini merupakan salah satu dari 11 desa yang masuk dalam daftar desa terpilih program 1000 peta desa. Desa ini adalah desa pertama periode tahun pertama yang menerima hibah peta, dengan produk yang masih sederhana. Namun demikian laksana cinta…Ngunut adalah cinta pertama dalam kisah romantikan 1000 Peta Desa. Selalu teringat, sulit dilupakan dan tentu saja menyimpan banyak kenangan.
Dipimpin seorang kepala desa yang juga pendakwah, Ngunut berkembang menjadi sebuah desa yang religius, damai serta menjunjung tinggi semangat kebersamaan. Di awal sambutan acara serah terima peta waktu itu, Pak Kades mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Fakultas Geografi dan Tim Peta Desa Ngunut, yang telah memilih desanya menjadi salah satu penerima hibah peta gratis. “Desa Ngunut adalah salah satu desa di wilayah Karanganyar yang jauh dari keramaian kota, namun sebuah kebanggaan bagi kami sekarang memiliki dokumen penting desa berupa peta bahkan terlihat gambaran langsung dari atas hingga dapat kami lihat bangunan-bangunan rumah juga hamparan tegalan, selama ini kami hanya memiliki peta wilayah desa apa adanya dan sudah lama, sehingga apa yang dilakukan adik-adik mahasiswa Fakultas Geografi UMS ini benar-benar kami rasakan manfaatnya, sekali lagi terimakasih, semoga Allah membalas kebaikan adek-adek semua”. demikian Pak Kades mengawali sambutannya. Dalam lanjutan sambutannya Pak Kades menginformasikan, bahwa sekretaris desanya pernah belajar di Jepang sehingga punya kemampuan IT memadai.
Ngunut termasuk desa kenangan karena menjadi satu-satunya desa yang oleh pembimbing dan penanggung jawab kegiatan ini pernah ditantang dan diajak menyusun kegiatan besar yang menantang kepada pihak desa, yaitu penyusunan basis datas spasial desa dengan luaran berupa basis data spasial interaktif desa hingga rumah-rumah warga tergambar dan terdata secara digital. Aplikasi akan bekerja manakala satu bangunan rumah diklik semua data atau informasi tentang bangunan rumah tersebut muncul. Namun ini pekerjaan besar yang sementara mungkin baru menjadi wacana. Ini ditawarkan menyambut sambutan pak kades yang menyebutkan ada SDM yang kemampuan IT-nya memadai.
Desa Njenengan. Lain cerita dengan Ngunut, Desa Njenengan memiliki cerita yang lebih dramatis terkait dokumen desa berupa peta. Dalam acara ramah tamah sebelum dimulai serah terima, Pak Kades menceritakan kisah kesalnya terhadap sebuah biro jasa pembuatan peta digital yang pernah berkunjung dan menawarkan jasa pembuatan peta digital berupa peta citra dengan biaya Rp 5.000.000,00.
“Kami kedatangan orang nawari membuatkan peta pak, lha karena peta di kantor kelurahan sudah ketinggalan dan sekarang eranya digital, maka kami sanggupi. Tapi setelah jadi, kami kaget dan kecewa karena batasnya salah, langsung saya tolak dan kembalikan untuk diperbaiki. Sampai sekarang tidak ada kejelasan pak dan tidak bisa dihubungi. Hari ini mahasiswa bapak datang menyerahkan peta citra digital gratis sebanyak dua buah peta sekaligus dan bagus-bagus serta tidak ada kesalahan batas, alhamdulillah ini ibarat orang sakit kami sudah mendapat obat yang langsung membuat kami sehat pak. Terimakasih Pak Anggoro”, (Kades Desa Njenengan, 2018).
Desa Tamanasri. Beda lagi dengan desa di atas perbukitan Pringkuku Pacitan, yaitu Desa Tamanasri. Sebuah desa yang jauh dari bayangan kami terkait jalur transportasi, kami bayangkan jalan menuju desa mulus asri sesuai namanya, ternyata sebaliknya tapi tak mengapa. Penat kami menempuh perjalanan terobati setelah Pak Kades Tamanasri mulai menyampaikan sambutannya, bahwa beliau tidak menyangka desanya yang sangat jauh dari UMS bahkan di luar propinsi serta di atas bukit lagi kok menjadi desa pilihan peta desanya dibuatkan gratisan. Apresiasi keluar berulangkali dari Pak Kades atas semua niat dan upaya mahasiswa membantu desanya melalui salah satu putra daerah yg belajar di FG UMS. Begitu senang dan bangganya, dalam sambutan pak Kades akan menceritakan hibah ini kepada teman-teman sesame kades di Kecamatan Pringkuku. Tentu ini sebuah kebanggaan tersendiri bagi kami, bahwa yang kami jalani diterima dengan senanghati.
Hal lain yang membuat kami ikut bangga bukan cukup sampai disitu saja. Selang satu hari setelah serah terima peta, anggota tim yang kebetulan putra daerah (Robi) menginformasikan bahwa malam setelah hari serah terima pak kades mengumpulkan warganya hanya untuk sekedar memberitahukan rasa syukur dan bangganya, bahwa desanya yang terpencil kini memiliki peta, bukan sekedar peta biasa namun peta citra desa digital berbasis satelit yang mungkin di seluruh Propinsi Jawa Timur baru beberapa desa yang punya bahkan mungkin bisa jadi menjadi desa pertama yang memilikinya karena formatnya terbaru dari Badan Informasi Geospasial (BIG).
Desa Pelem. Lain desa lain kisah yang bisa diangkat menjadi cerita. Kali ini cerita berasal dari sebuah desa terbaik dan menjadi percontohan di Kabupaten Boyolali, yaitu Desa Pelem. Desa Pelem adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Simo, Boyolali yang dinilai oleh pemerintah memiliki pelayanan yang baik sehingga perlu dicontoh oleh penyelenggara pemerintahan desa lain di Boyolali. Menurut keterangan dari bapak sekretaris desa setempat, Desa Pelem sering dikunjungi oleh tamu-tamu dari desa lain bahkan dari luar kabupaten untuk bahan studi banding terkait penyelenggaraan pemerintahan.
Namun rasa bangga sebagai desa percontohan sering pupus karena tak sedikit tamu yang berkunjung menyayangkan Kantor Desa Pelem karena peta wilayahnya jelek, tidak menarik dan sudah ketinggalan. Berangkat dari hal tersebut, ada satu kalimat dari Pak Kades Pelem yang selalu teringat sebagai ungkapan rasa terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada Tim Peta Desa FG UMS beserta pembimbing : Pak Anggoro, mulai hari ini dinding utama Kantor Desa Pelem akan saya bersihkan dari semua benda, akan khusus saya pasang 2 (dua) buah peta hasil hibah peta dari mahaiswa bapak, mahasiswa Fakultas Geografi agar kami makin percaya diri dan tidak dicacat-cacat lagi”, begitu Pak Kades mengakhiri sambutannya kala itu. Akhir sambutan yang menggetarkan karena merasa ikut bangga melihat karya mahasiswa telah sedemikian rupa diperlakukan.
Masih banyak cerita yang dapat diungkap yang tak kalah menarik, seperti di Desa Kaliboto, Kecamatan Mojogedang, Kabupaten Karanganyar yang membuat segenap Tim hampir ikut menangis karena bapak kepala desa sempat berkaca-kaca haru saat memberi sambutan mengapresiasi, menyampaikan ucapan terimakasih tak terhingga karena dokumen desa berupa peta wilayah yang selama ini diajukan ke pemerintah daerah tak kunjung tiba, dan kini tiba-tiba mahasiswa datang mewujudkan sesuatu yang mestinya menjadi tugas pemerintah, namun justru mahasiswa yang secara sukarela membantu tanpa mengharap sesuatu. Di balik cerita para kepala desa, 1000 peta desa menyimpan asa. (*)
Penulis:
Agus Anggoro Sigit, S.Si., M.Si dan Drs. Priyono, M.Si.
(Dosen Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta)